Little Shared “Masa Lalu”

Setiap manusia pasti memiliki sebuah memori yang dianggap paling berharga dalam hidupnya. Entah mengapa ingatan akan masa lalu tiba-tiba muncul dalam benakku. Dia bagai sinar matahari pagi yang memecah kegelapan malam. Aku masih terduduk bersila di depan monitor mencoba menguntai lembaran-lembaran memori masa lalu itu. Sejenak ku berfikir, mengapa aku bisa sampai disini. Bukankah dua tiga empat tahun lalu aku tidak pernah membayangkan akan duduk di tempat ini, berjalan di kota ini, makan, mandi dan beristirahat di kota ini. 4 tahun lalu aku masih merasakan terik mentari Surabaya yang menyengat. Berjalan menuju kampus untuk menyaksikan para dosen bercerita tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan kah empat tahun yang lalu aku masih merasakan betapa kerasnya pengkaderan ospek kampus dengan ketakutan yang membalut wajah-wajah yang masih lugu. Ketika itu, tak sedetik pun anganku sampai ke tempat dimana aku bersimpuh sekarang ini.

Kesemua itu mengalir layaknya air yang mengalir. Dahulu tak pernah terfikir olehku akan kuabdikan dimana jasad dan akal ini. Aku pun tak pernah berfikir menjadi sebuah lilin yang hendak menerangi kehidupan manusia. Tapi ku saat ini diminta untuk menjadi pelita besar yang akan menerangi seluruh negeri. tiga empat tahun lalu masih teringat olehku bagaimana setiap pencerahan dari Bapak Ibu Dosen tak satu pun yang masuk dalam fikiranku. Akan tetapi hari ini aku dipaksa untuk mengingat-ingat apa yang tak pernah singgah dalam akalku. Semua mengalir begitu saja seperti angin yang berhembus di padang gersang.

Masih teringat pula bagaimana dulu aku menangis sejadi-jadinya setelah nilaiku tak sanggup membawaku memasuki sekolah favorit. Masih teringat pula bagaimana air mataku menetes di pangkuan bunda, hingga sang bunda pun ikut menangis karna kesedihan yang dibawa putranya. Andai ketika itu aku tahu akan hari ini, aku ingin mengatakan, “Bunda janganlah menangis, karena Allah telah menuliskan garis kebaikan pada putramu ini”. Andai ketika itu aku tahu akan hari ini, tentu aku akan tersenyum karena bukanlah musibah yang kuhadapi tetapi adalah sebuah berkah.

Semua berjalan begitu cepatnya. Serasa tak ada satu rintangan pun yang mampu mematikan langkah-langkah kaki. Dengan keterbatasan sebagai makhluk, ternyata hidup ini terasa indah untuk dijalani. Sejenak hati ini tersadar, bukanlah aku yang menuntun ku hingga sampai ke tempat ini. Aku bahkan tak sanggup memastikan apa yang terjadi esok dan tak mampu mengubah apa yang telah terjadi di masa lalu. Jasad ini serasa diperjalankan melewati detik demi detik, hari demi hari menyibak ribuan misteri waktu hingga Dia memanggilku. Semakin ingatan-ingatan itu menghantui fikirku semakin terasa tak berdaya diri ini. Ku hanya makhluk kecil yang untuk diriku saja tak bisa ku mengetahui. Lalu siapakah yang telah mengatur jutaan sekenario agung ini ? Aku hanya peran figuran di dalam luasnya pentas yang berjudul “Dunia”. Semua diarahkan begitu rapi hingga setiap aktor tak pernah sadar akan siapa yang telah menggerakkannya. Inilah film tentang kehidupan yang sebenarnya. Bukan sekedar sinetron atau film bioskop yang mudah tertebak bagaimana alur ceritanya. Ini adalah film tentang kehidupan yang setiap detiknya adalah misteri dan setiap menitnya adalah teka teki. Siapakah yang tahu akan kemana film ini dibawa dan bagaimana film ini berakhir ? Hanya Allah lah yang tahu.

Wallahua’lamu bishshowab.

Bandung R5A5, 17 Dzulhijjah 1431 H

Iedul Adha di Rantau

Suara Takbir menggema di seantero jagad Pasundan. Memang sudah selayaknyalah hari penuh makna ini diperingati oleh seluruh umat Islam di tanah ini. Berbicara mengenai Iedul Adha, pikiran kita tak pernah lekang dari kisah dua manusia agung Ibrohim as dan Ismail as. Telah banyak buku-buku yang menceritakan kemuliaan akhlaq mereka berdua. Bahkan anak-anak TK dan SD pun tak asing dengan cerita-cerita sepak terjang keduanya di dunia mengemban misi risalah kenabian dari Allah SWT.

Di dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengabadikan keduanya sebagai pelajaran bagi kami umat akhir jaman. Ismail as adalah anak semata wayang Ibrahim as dikala itu. Dia adalah anak yang sholih dan berakhlaq mulia. Ibunya adalah seorang wanita yang taat bernama Hajar. Beberapa riwayat mengatakan bahwa Hajar adalah seorang budak yang dihadiahkan Firaun kepada Nabi Ibrahim as. Namun sebagian riwayat lain mengatakan bahwa Hajar adalah putri Firaun sendiri.

Adapun kesholihan Ismail sendiri telah diabadikan Allah di dalam Al Aqur’anul Karim. Beberapa ayat yang menceritakan kesholihan Ismail as antara lain :

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

baca…

Good Bye My Old Room

Hari ini tanggal 7 Nopember 2010 resmi sudah aku berpindah ke tempat tinggal yang baru. Setelah menemui bibi penjaga kos dan menyerahkan kuncinya, mulai saat itu pula aku harus hengkang dari Pondok Aurel. Pondok ini menyisakan kenangan yang dalam bagiku, terutama kenangan tentang kebersamaan kami Laskar DJBB angkatan 20. Laskar yang tak lekang oleh waktu (lebay).

Disanalah tempat kami berkumpul melepas penat akibat pekerjaan yang telah kami jalani selama satu bulan penuh. Dari sanalah kami bertolak untuk menyusuri sudut-sudut kota Bandung, Mall-Mall, pasar-pasar, rumah-rumah, sawah-sawah, hutan-hutan (emangnya mau kemana Kang ?). Yang pasti disanalah saksi bisu kegiatan berkumpul kami.

Setelah kurang lebih 3 bulan kegiatan OJT (On the job training)kami selesei (Mudah-mudahan SK segera turun) status kami berubah menjadi benar-benar OJT (Ora Jelas Tugase). Dibilang siswa OJT tapi sudah lulus (Alhamdulillah semua lulus, tinggal sahabatku Nanang dan Iwan – Semangat Bro . .), dibilang pegawai tapi belum ada SK. Wah, status kami benar-benar abu-abu. Tapi masih mending daripada hitam. hehe

Entah mengapa aku merasa ingin rasanya pindah tempat tinggal ke tempat yang lebih tanang (asal bukan kuburan). Untuk itu aku putuskan mencari referensi kos-kosan baru yang situasinya lebih kondusif. Aku disarankan beberapa rekan kerjaku untuk pindah ke kos-kosan mereka. Terima kasih Bapak Ribut dan Mas Lius atas saran kos-kosannya. Akhirnya aku putuskan untuk menengok sejenak bagaimana kondisi kos-kosan tersebut. Aku pun berjalan menyusuri jalan Pangarang menuju jalan Rana bersama Bapak Ribut. Ketika sampai di tempat tujuan aku pun segera melihat-lihat kondisi tempat tinggal yang satu ini. “Masya Allah bagusnya”, gumamku dalam hati. Namun rasanya kurang afdhol kalau tempat sebagus ini jauh dari masjid. Maka aku tanyakan kepada beliau dimanakah letak masjid. Pak Ribut pun menjawab, “deket, cukup jalan kaki aja”. “Ayuk sekalian sholat maghrib, biar ku tunjukkan dimana masjidnya”, kata bapak tadi. Setelah ku tahu masjid mudah dijangkau dari sini maka kuputuskan untuk berkata “Ambil”.

Namun sayang ketika itu kamar sudah terisi penuh. Baru saja kemaren ada kamar kosong di C5 tapi sudah ada yang memesan. Akhirnya ku tahu yang memesan kamar itu adalah seorang teteh-teteh yang bekerja di PLN juga. Cuman bedanya dia baru saja dapat SK, sedang aku masih Ora Jelas Tugase. “Sayang sekali . . . ah sudahlah, demi teteh yang geulis ini aku rela mengalah”.  Akhirnya hari itu aku pulang dengan perasaan hampa.

Beberapa hari kemudian aku dikabari oleh sang pemilik kos bahwa ada kamar kosong di A5. Akhirnya ku terima sajalah daripada tetap dengan perasaan hampa. Setelah selidik punya selidik ternyata kamar itu berada persis di depan kamar Pak Ribut (Bapak yang memberikan referensi  kos ini). “Alhamdulillah, kamarku berada di dekat kamar bapak yang baik hati, tapi Astaghfirullah, kenapa kamarku jauh dari kamarnya teteh yang geulis itu yah ?”. Ah memang begini lah keadaannya. Kamarku dengan kamar teteh itu harus terpisah dua gerbang. Gerbang pertama, aku yang memegang kuncinya, tapi gerbang kedua, dia yang memegang kuncinya. Wah gak bisa ngelihat dia tiap hari dung ?? (Mau cari kosan apa cari awewe sih kang ?).

Akhirnya kuputuskan untuk mengambil kamar yang satu ini, dengan segera membayar tarif sewanya  saat itu juga kepada pemilik kos. Alhamdulillah semua lancar. Aku pun akhirnya dibekali 3 kunci oleh pemilik kos. Kunci pertama adalah kunci gerbang masuk, kunci ke-2 adalah kunci garasi, dan kunci ke-3 adalah kunci kamar.

Malam ini 7 Nopember 2010 aku bisa tidur dengan tenang di kamar baru ini. Kamar yang bercat biru ini ku beri kode nama R5A5. Kemudian ku pasang juga sprei warna biru. Wah makin biru saja kamar ini. Malam ini pun tiba-tiba ku teringat kenangan-kenangan masal lalu di Pondok Aurel dan mudah-mudahan kenangan ini terus berlanjut walaupun diriku tidak di tempat itu lagi. Good bye my old room, I will never forget you now and forever

 

Bandung R5A5, 7 Nopember 2010

RDK = Ramadhan di Kampung

Assalamualaikum Warohmatullah

Tak terasa Ramadhan sudah hampir tiba. Sampai ketika saya menulis cerita ini, kalender sudah menunjukkan tanggal 21 Syaban 1429 hijri atau 8 hari menuju tanggal 1 Ramadhan. Banyak orang-orang berdoa pada penghujung Ramadhan tahun lalu – “Ya Allah pertemukan hamba dengan Ramadhan tahun depan !!” – namun tak sedikit pula doa yang belum dikabulkan oleh Allah. Mereka terlebih dulu menemui ajal sebelum bersentuhan dengan bulan suci yang penuh ampunan itu.

Ramadhan seakan bulan yang sedikit banyak telah menyisakan berjuta kenangan bagi kita semua. sejak dari timangan sang ibu kita melihat begitu semaraknya bulan Ramadhan. Mungkin dulu kita belum berpuasa, tapi tak jarang juga kita latah ikut-ikutan membangunkan orang yang ingin berpuasa. Mungkin kita dulu tak ikut berpuasa, tapi kita latah ikut-ikutan saur dan berbuka dengan sanak saudara.

Ibu kita menyiapkan hidangan sangat istimewa bagi anggota keluarga yang sedang berpuasa. Jangankan yang sedang puasa, kita saja yang tidak berpuasa juga tergoda melihatnya. Tak jarang pula kita menyantap hidangn itu duluan sebelum yang berpuasa berbuka, parahnya lagi kita makan di depan orang yang sedang berpuasa.

baca…